Minggu, 23 Mei 2010

Masyarakat Multikultural

Masyarakat Multikultural

Multikuturalisme merupakan faham yang menerima perbedaan dan mengaggap bahwa perbedaan budaya yang terdapat di masyarakat tidak bersifat hierarkis, tetapi sederajat.
Masyarakat multicultural merupakan bentuk dari masyarakat modern yang anggotanya terdiri atas berbagai golongan, suku, etnis (suku bangsa), ras, agama, dan budaya. Mereka hidup bersama dalam suatu wilayah lokal dan nasional. Bahkan, mereka juga berhubungan dengan masyarakat internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keanekaragaman dalam masyarakat multikultural memiliki beberapa karakteristik. Menurut Pierre L. Van den Berghe, karakteristik keberagaman tersebut adalah sebagai berikut.
1.Terjadinya segmentasi atau pembagian ke dalam kelompok-kelompok yang sering kali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2.Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer (tidak saling melengkapi).
3.Kurang mengembangkan konsesus (kesepakatan) di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4.Secara relatif, sering kali terjadi konflik antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan dalam bidang ekonomi.
6.Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.

Di dalam masyarakat multikultural, perbedaan kelompok sosial, kebudayaan, dan suku bangsa dijunjung tinggi. Namun, hal itu tidak berarti bahwa ada kesenjangan atau perbedaan hak dan kewajiban di antara kelompok sosial, kebudayaan, dan suku bangsa yang berbeda itu. Masyarakat multikultural tidak mengenal perbedaan hak dan kewajiban antara kelompok minoritas maupun mayoritas, baik secara hukum maupun sosial.
Multikulturalisme menuntut masyarakat untuk hidup penuh toleransi, saling pengertian antarbudaya dan antarbangsa dalam membina suatu dunia baru. Dengan demikian, multikulturalisme dapat menyumbangkan rasa cinta terhadap sesama dan sebagai alat untuk membina dunia yang aman dan sejahtera. Dalam multikulturalisme, bangsa-bangsa duduk bersama, saling menghargai, saling membantu, dan tidak memandang apakah suatu kelompok masyarakat merupakan kelompok mayoritas atau minoritas sehingga tidak terjadi dominasi mayoritas dan tirani minoritas.
Idealisme masyarakat multikultural sering mengahadapi berbagai hambatan. Berikut ini adalah sebagian hambatan yang harus dihadapi manusia dalam menjunjung konsep multikulturalisme.
1.Menganggap budaya sendiri yang paling baik. Pengakuan terhadap budaya sendiri yang berlebihan dapat mengarah kepada kecintaan pada diri sendiri atau kelompoknya yang disebut narsisme budaya. Sikap ini merupakan warisan dari kolonialisme yang menganggap bahwa bangsa jajahannya rendah dan memiliki kebudayaan inferior. Sebaliknya, penjajah memiliki kebudayaan superior.
2.Pertentangan antara budaya Barat dan budaya Timur. Dalam masyarakat dunia, ada pandangan yang menanggap budaya Barat sebagai budaya progresif atau maju yang sarat dengan kedinamisan (hot culture). Sebaliknya, budaya Timur diidentikkan dengan budaya yang dingin dan kurang dinamis (cold culture). Pertentangan ini cenderung Eropa-sentris sehingga mengakibatkan westernisasi di berbagai bidang kehidupan.
3.Pluralisme budaya dianggap sebagai sesuatu yang eksotis. Ini merupakan pandangan yang banyak dianut oleh para pengamat Barat terhadap pluralisme. Mereka menganggap budaya lain di luar budayanya sebagai budaya luar (the other). Mereka memandang budaya lain memiliki sifat eksotik dan menarik perhatian dan bukan dihargai sebagai budaya yang memiliki kekhasan yang berbeda dengan budayanya.
4.Pandangan yang paternalistis. Ada banyak peneliti dan pengamat budaya dari kaum laki-laki yang masih menganut faham paternalistis. Hal ini tentu saja menimbulkan bias terhadapa perempuan. Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang memandang status perempuan sebagai sesuatu yang minor dan disubordinasikan dari peran laki-laki.
5.Mencari apa yang disebut indigenous culture, yaitu menacari sesuatu yang dianggap asli. Misalnya di Jakarta ada kecenderungan manamai gedung-gedung dengan nama dalam bahasa Sanskerta. Pada era globalisasi, pemujaan terhadap indigenous culture merupakan sikap yang mempertentangkan istilah Barat dan non-Barat. Pada era tersebut, kerja sama internasioanl tidak mengharamkan penggunaan unsur-unsur budaya lain yang dapat diadopsi dan disesuaikan dengan lingkungan budaya yang berbeda.
6.Pandangan negatif penduduk asli terhadap orang asing yang dapat berbicara mengenai kebudayaan penduduk asli.

sumber:
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2004. Sosiologi. Jakarta: ESIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar